No Bookmarks
Bookmark
Rating
Review at:

Kenapa Harus Marah?

Kenapa Harus Marah?
Kenapa Harus Marah? - Google.com

Mudah sekali bukan untuk memarahi orang lain ketika kamu merasa dibuat tidak nyaman baik itu karena ejekan, di kritik, atau orang lain berbuat salah padamu. Saya dan kamu tidak hidup dan tinggal di Jepang sekarang ini, namun di negara tersebut, bila kamu menabrak orang lain, orang yang ditabrak malah  meminta maaf terlebih dahulu padamu, budaya arif dan patut kita contoh.

Berbeda dengan budaya orang-orang urban, hidup di hiruk pikuk rutinitas kota yang padat, sebut saja, Jakarta. Saya sedang menempuh kuliah S1 disini sekarang. Konstruksi sosial yang ada mengharuskan saya bisa beradaptasi dengan masyarakat sekitar saya tinggal.

Sore ini, saya diminta menemani teman saya membeli sesuatu. Saat di jalan, tepatnya di dekat Taman Mini Indah, jalanan sedang macet parah, saya melaju perlahan, mencari celah jalan yang bisa dilalui oleh sepeda motor, saya melihat ada celah kosong, ketika saya baru hendak menarik gas, dari arah belakang ada orang yang melaju kencang menabrak spion dan spakbor depan motor. Dia berhenti karena kaki kanannya tersangkut di ban saya, untungnya saya tidak menarik gas dan langsung menarik rem. Saya langsung mempersilahkan dia untuk meneruskan perjalanan, bisa saja saya marah, tapi saya tidak mau dan tidak harus marah, karena hidup itu pilihan, saya sendiri yang menentukan tindakan saya secara sadar, termasuk memilih untuk tidak marah dan memaafkan orang yang menabrak saya dari belakang. Saat orang itu berlalu, saya memperhatikan sekitar, orang-orang memandangi saya, entah, apa yang mereka pikirkan dan gumamkan dalam pikiran mereka tentang itu, saya tak harus memikirkan hal itu, masih ada hal lain yang lebih penting dan harus saya lakukan, menemani teman saya membeli sesuatu.

Jalanan masih macet, orang-orang sekitar saya perhatikan tidak sabar, mereka ingin sesegera mungkin berlalu dari kemacetan ini, sehingga bisa ditebak, para pengendara motor dan mobil saling mendahului. Sampai di lampu merah, listriknya mati, lampu lalu lintas mati total, itu penyebab kemacetan panjang sore ini di sekitar Tamini Square. 

Saya melaju dengan hati-hati, saat melihat ke depan, ada dua pengendara sepeda motor bertabrakan, mereka saling caci maki, mereka marah-marah di tengah jalan, tentu itu menyita perhatian pengendara lain sekaligus ngebuat jalan sukses tambah macet. Mereka saling kejar-kejaran dan terus memaki sepanjang jalan, pengendara yang menabrak itu sepasang suami istri, dan orang yang ditabrak itu bapak-bapak berusia kepala empat, pikir saya. Si bapak langsung mengejar sepasang suami istri itu karena dia tidak terima melihat pengendara yang menabraknya berlalu begitu saja. Akhirnya si Bapak itu memukul orang yang menabraknya, tepatnya si ibu yang duduk di bangku belakang motor, spontan, si ibu itu balik mencaci maki tak kalah lantangnya sampai-sampai seisi jalan mendengar pertengkaran dua pengendara itu. 

Seharusnya tidak akan ada insiden saling caci maki dengan melontarkan kata-kata tidak sopan, bahkan sampai main pukul. Andai saja, mereka menahan marah dan saling memaafkan, hal itu tidak akan terjadi. Andai saja mereka tidak marah, tentu pengendara lain tidak akan terganggu. Tapi, hal itu terjadi begitu saja karena mereka tidak bisa menahan marah, merasa paling benar dan selalu merasa bukan dirinya lah yang salah tapi orang lain.

Konstruksi sosial kita saat ini; "Bukan saya yang salah, tapi orang lain." stereotip menyalahan orang lain begitu melekat di masyarakat kita. Hal itu pun menjadi pembenaran oleh orang-orang hanya karena banyak orang yang melakukannya. Dalam kasus sebelumnya, saya pikir, dua pengendara motor itu sudah dewasa dan dapat bertanggung jawab atas tindakannya. Saya heran, heran, dan heran. Kenapa konstruksi sosial itu begitu melekat di pikiran kita. Sampai-sampai, 3 orang yang saya lihat sudah sangat dewasa terlihat tak ubahnya seperti anak kecil yang sedang bertengkar, benar memang, umur tidak menentukan kedewasaan seseorang, sama dengan dua pengendara itu.

Kalau ditanya kenapa saya tidak marah saat motor saya hendak berbelok ke kiri dan ditabrak dari belakang, saya akan menjawab karena saya tidak marah, saya tidak mau membuang banyak tenaga untuk melakukan hal yang sia-sia, jika saya marah, apakah permasalahan itu akan selesai? Jika saya marah, apakah dengan serta merta jalanan bisa tidak macet? Tentu tidak, yang ada jalanan jadi macet bila saya marah dengan orang yang menabrak saya tadi. So, karena hidup adalah pilihan, saya memilih untuk tidak marah dan memaafkan orang itu.