No Bookmarks
Bookmark
Rating
Review at:

Teman Yang Baik Itu Dapat Menerima Sebagaimana Adanya Diri Kita

Teman Yang Baik Itu Dapat Menerima Sebagaimana Adanya Diri Kita
Foto - Agung (kiri) dan Haslan (kanan)

Sejak kecil, tepatnya ketika saya masih belajar di sekolah dasar, saya memiliki teman. Sama halnya ketika saya naik kelas ke sekolah menengah pertama dan atas bahkan sampai kuliah sekarang. Mereka orang-orang baik, saya senang mereka mau berteman dengan saya.

Saya menyadari satu hal, karena selama hidup waktu terus berjalan, teman-teman saya selama sekolah pun pergi satu persatu. Mereka beda sekolah dengan saya, putus sekolah, punya teman baru, atau mereka yang hanya sekedar kenal dengan saya.

Saya pikir, lingkaran ini akan terulang sekali lagi kalau saya sudah lulus atau teman-teman kuliah saya lulus lebih dulu. Saya tidak merasa keberatan dengan itu karena saya yakin sekali pun teman-teman saya sudah lulus, saya akan tetap memiliki teman, tidak harus banyak, yang penting mereka memang tulus ingin berteman dengan saya.

Oh well, memiliki sedikit teman lebih baik dibandingkan berteman dengan orang yang hanya datang ketika butuh saja, saya muak dengan orang-orang seperti itu. Saya pikir mereka tidak tulus berteman, teman macam apa yang hanya datang ketika butuh dan pergi begitu saja ketika kebutuhannya sudah terpenuhi. Maka dari itu, saya bisa merelakan teman seperti itu untuk pergi dari kehidupan saya.

Tapi saya merasa berat hati kalau harus berpisah dengan orang-orang yang tulus berteman dengan saya. Mereka tahu saya introver, mereka tahu saya seperti apa dan mereka tak pernah meributkan soal itu. Saya akan menuliskan nama-nama teman saya disini, well, saya percaya entah bagaimana caranya tulisan ini akan sampai kepada orang-orang yang namanya saya tuliskan disini.

Saat SMA -- saya memiliki teman-teman dari dua jurusan, yakni IPA dan IPS. Jumlahnya memang banyak, oh well, ketika lulus sekolah, saya bisa tahu siapa yang memang benar-benar teman. Iya, mereka yang terus ada, mereka tidak peduli dengan acara formalitas perpisahan. Saya tahu acara perpisahan memang ada, tapi acara itu ada bukan untuk memutus pertemanan tapi sebagai upacara menamatkan akhir studi.

Saya seorang introver, selayaknya orang introver pada umumnya, saya kesulitan untuk memulai percakapan. Apalagi berhadapan dengan orang asing, saya lebih kesulitan lagi, beda halnya ketika saya sedang kumpul dengan teman-teman akrab, saya bisa ngomong apapun, lepas tanpa beban.

Saya suka membaca buku dan artikel, lebih seringnya sih artikel karena tidak terlalu panjang. Saya sering membaca tulisan-tulisan blog, tentu blog itu loadingnya harus ringan, saya tidak tertarik membaca blog yang loadingnya lama.

saya suka menonton anime, saya pikir menonton film animasi besutan jepang memberikan kesenangan tersendiri buat saya, film-film itu punya pesan moral tentang kehidupan, dan tentunya lebih baik daripada menghabiskan waktu menonton film sinetron yang tidak jelas, acara lawak yang tidak lucu dan terlalu dibuat-buat, oh well, saya muak dengan itu.

Saya suka dengan kegiatan debat bahasa inggris, kontradiksi dengan karakter introver yang saya miliki ya? Oh well, saya menyukainya karena satu alasan, debat bahasa inggris punya etika untuk menyampaikan gagasan pribadi tanpa harus memotong omongan orang lain yang sedang berbicara.

Saya suka menulis di blog. Saya pikir, kita tidak harus tahu segalanya lalu baru berbagi, justru dengan berbagi ilmu melalui tulisan secara berkala bisa membuat pemikiran kita berkembang dan bermanfaat untuk pembaca, karena itu saya menulis di blog ini.

Oh well, dari sederet cerita tentang saya diatas, saya pernah bertemu dengan teman yang suka meributkan sifat introver saya. Dia berpikir sikap itu harus dirubah, introver itu sebuah aib dan kesalahan sampai-sampai dia tidak berhenti ngoceh panjang lebar, tujuannya satu, yakni dia ingin saya berubah. Oh well, saya tidak mau berubah karena orang yang menyuruh saya berubah pun punya kekurangan. Sayangnya, dia tidak menyadari kalau dia juga punya kekurangan, dia begitu sombong dan merasa paling benar sendiri, dunia ini sudah begitu sesak dengan orang-orang seperti itu. saya pikir, orang seperti itu tidak layak untuk diajak berteman.

Teman yang tulus, saya pikir, mereka yang berteman dengan kita karena memang ingin berteman, mereka tidak meributkan sikap kita, tapi lebih dari itu, mereka menerima kita sebagaimana adanya kita, saya nyaman berteman dengan orang-orang seperti itu.
Teman Yang Baik Itu Dapat Menerima Sebagaimana Adanya Diri Kita
Haslan (kiri), Zandy (tengah), Agung (kanan)
Teman Yang Baik Itu Dapat Menerima Sebagaimana Adanya Diri Kita
Haslan (kiri), Otong (tengah), Cecep (kanan)
Dalam post ini, saya menyertakan foto-foto teman dekat saya, mereka adalah teman-teman SMA saya dan sampai sekarang kami masih terus bersama, ada Haslan, Zandy, Cecep, dan Otong. Selain empat orang yang saya sebutkan barusan, saya masih memiliki teman dekat lainnya seperti neng ariyanti, satrio, fajrin, riyanto, araaf, ardi dan jumroni, hanya saja saya tidak bisa melampirkan dokumentasi foto-fotonya disini karena memang saya tidak memiliki dokumentasinya. Saya senang dan nyaman berteman dengan mereka, mereka tidak pernah meributkan kekurangan masing-masing karena memang kami hanya ingin berteman, pertemanan yang tulus tanpa mementingkan diri sendiri dan yang paling penting adalah kami menerima teman kami sebagaimana adanya dirinya, saya pikir, seperti itulah pertemanan yang menyenangkan. :)