[Review Film] 212 The Power of Love - Sejuta Cerita Cinta, Persahabatan, Dan Kepedulian Umat Islam Yang Dipersatukan Dalam Aksi Damai 212
Referensi Gambar: Akun Instagram dan Youtube Official 212: The Power of Love dan Dokumentasi Pribadi |
Produksi: Warna Pictures
Sutradara: Jastis Arimba
Naskah Film: Ali Eonia
Supervisi Naskah: Helvi Tiana Rosa
Pemain: Fauzi Baadila, Adhin Abdul Hakim, Humaidi Abas, Meyda Sefira, Hamas Syahid, Asma Nadia, Roni Dozer, Echy Yiexcel
Banyak orang yang sudah menanti-nantikan tayangnya film 212: The Power of Love. Begitu film ini ditayangkan diawal 9 mei 2018, masyarakat antusias bergegas membanjiri bioskop tanah air di awal pemutarannya sampai-sampai tiket film ini sukses terbeli habis.
Begitupun dengan saya, saya menantikan tayangnya film ini, saya sampai harus menonton film ini di CGV Depok karena tiket di bioskop Jakarta sudah terjual habis. Teman saya bahkan harus menonton film ini di CGV AEON Mall, BSD, Tangerang.
Secara
objektif, film ini tidak mengangkat detail kejadian aksi damai 212
sebagai keseluruhan isi ceritanya sehingga bisa saja beberapa penonton
yang memiliki ekspekstasi awal yang tinggi mengenai kejadian mendramatisir seperti apa yang mereka
ingini dari film ini berakhir kecewa.
Meski begitu, sesuai dengan nama judul filmnya, alih-alih hanya menceritakan kejadian yang ada di aksi damai 212 saja, sutradara Jastis Arimba mengarahkan para penonton untuk menyelami pesan penting yang terkandung dalam aksi 212 yaitu makna cinta, persahabatan, dan kepedulian umat islam untuk bersatu bergerak atas dasar iman untuk membela keyakinannya dan menyuarakan kekecewaannya terhadap penistaan agama yang dilakukan oleh pejabat Pemprov DKI. Dan keseluruhan pesan itu akan kamu dapatkan dari tokoh utama dalam film ini.
Demi menghidupkan konflik dalam film, dibuatlah karakter utama dengan peran antagonis bernama Rahmat (Fauzi Baadila), karakter Rahmat digambarkan sebagai lulusan Harvard University berkepribadian skeptis, rasional, dan sombong. Dari tokoh Rahmat inilah, sang sutradara memusatkan alur ceritanya, menurut saya, Jastis Arimba ingin menyampaikan sudut pandang berbeda mengenai aksi 212 dalam film ini, yaitu ia ingin mengangkat cerita dibalik layar proses perjalanan kaum muslim menghimpun barisan massa menuju lokasi aksi damai 212 di Monas, Jakarta.
Sesuai ulasan di paragraf sebelumnya, Rahmat menjadi tokoh representasi yang menggerakkan alur cerita dalam film, seorang jurnalis lulusan Harvard yang menganut paham Karl Marx menganggap dirinya kritis sehingga ia merasa perlu untuk menulis artikel yang mengulas gerakan aksi umat muslim 4 November lalu, alhasil, Rahmat banyak dibenci karena tulisannya yang anti-islam.
Secara karakter, peran Rahmat, menurut saya, bisa menjadi representasi sebagian pihak baik itu muslim maupun non-muslim yang masih skeptis terhadap Islam. Perannya yang selalu menolak sisi baik Islam begitu kentara terasa saat saya menonton film ini, semua penolakannya selalu ia utarakan melalui tulisan, ucapan, dan keyakinanya bahkan ia tidak mau mendengar pendapat orang lain yang berseberangan dengan ideologisnya tentang agama, meskipun pendapat itu datang dari pemimpin redaksi dan teman terdekat di tempatnya bekerja, majalah Republik.
Demi mengimbangi karakter antagonis ini, Jastis Arimba menambahkan satu karakter pendamping (Sidekick) tokoh utama, namanya Adin (Adhin Abdul Hakim), perannya dalam film ini digambarkan sebagai satu-satunya teman Rahmat, santai, lucu dan selalu bisa mencairkan suasana, setiap kali melihat akting Adhin, para penonton selalu tertawa riuh karena ucapan dan tingkahnya.
Selama menonton film ini, bila tidak jeli, kita bisa saja melewatkan plot twist yang ada di awal film, teknik plot twist yang digunakan disini sebut dengan nama Anagnorisis (Teknik ini menyebabkan perubahan dari plot, seringkali mendorong karakter untuk melakukan tindakan.).
Plot twistnya ada di momen dimana Rahmat dan Adin sedang meliput berita bersama seorang narasumber, tapi tiba-tiba Rahmat membatalkan liputan karena mendapat kabar ibundanya meninggal sehingga Rahmat bergegas pergi pulang ke kampung halamannya, Ciamis.
Plot twist ini lebih terasa efeknya pada pemain film sih, lebih berefek ke si Adin, dimana ia kaget kalau Rahmat ternyata masih punya keluarga, yang Adin tahu, temannya itu pribadi yang tidak punya teman dan selalu sendirian, oleh karenanya, wajar saja Adin kaget. Mungkin bagi sebagian penonton, bisa saja mereka mengklaim tidak ada plot twist kerena memang bagian ini masih terkesan agak kaku, dan penonton mengganggapnya sebagai alur biasa dalam cerita.
Begitu keduanya sampai di Ciamis, kamu, sebagai penonton film akan diberi 3 plot sekaligus yang mengantarkanmu menuju ke inti hingga akhir cerita.
Plot pertama, flashback, kamu akan menonton kilas balik yang dialami oleh si tokoh utama, Rahmat, cerita di masa lalunya ini menjadi poin penting karena berkaitan dengan kelanjutan ceritanya.
Plot kedua, linier, yaitu plot searah, melalui plot ini, karakter utama akan dipertemukan dengan sosok sang ayah (ki Zainal), teman masa kecilnya yang masih ia kagumi hingga sekarang (Yasna), adik Yasna yang akan berseteru dengan Rahmat sepanjang jalannya film (Abrar), Aisyah (Anak yatim piatu yang diasuh oleh Yasna di Panti Asuhan), ibundanya Yasna yang selalu memberi dukungan kepada Rahmat tentang agama islam (bi Nurul), dan pemeran tambahan seperti salah seorang kenalan ayahnya pemilik kedai bakso beretnis cina dan pemilik pesantren.
Melalui plot kedua ini, kamu akan diajak untuk mengenali hubungan antara Rahmat dan ayahnya yang bisa dibilang tidak baik, satu-satunya yang kemungkinan bisa meredakan ego keduanya hanya rasa saling peduli. Namun, karena keduanya tak pandai mengekspresikan rasa pedulinya, si anak merasa ayahnya tidak peduli, begitupula dengan ayahnya.
Namun, sebagai orang yang sudah menonton film ini, saya minta padamu untuk sedikit bersabar, karena di plot ketiga, yakni foreshadowing dimana kamu sebagai penonton, akan diajak pemeran utama untuk menemukan cara sang ayah menunjukkan rasa peduli pada anaknya dengan adegan yang tidak disangka-sangka, penasaran? Semua rasa penasaranmu terhadap film ini bisa terpenuhi dengan cara menonton film ini langsung di bioskop terdekat rumahmu.
Setelah mengulas alur cerita dan tokoh dalam film, saya ingin mengulas sisi sinematografi dalam film 212: The Power of Love. Dalam poin ini, selama menonton film dari awal hingga akhir, ada dua jenis angle kamera yang saya sukai dari film ini. Apa saja? Kedua angle itu adalah birds eye view dan eye level.
Kita bahas dari angle pengambilan gambar pertama, angle birds eye view, guna mendapatkan gambar dari ketinggian, film 212: The Power of Love ini menggunakan media Drone dimana penonton serasa bisa mengamati pergerakan karakter dari ketinggian layaknya burung yang sedang memandangi lingkungan geografis dibawahnya.
Scene yang menggunakan gaya pengambilan angle birds eye view ini bisa kamu lihat pada sesi dimana Abrar mengomandoi barisan umat saat pertama kali memulai longmarch dari Ciamis, kamu akan mendapati sensasi pemandangan melihat para peserta aksi damai 212 dari ketiggian layaknya burung yang sedang melihat kebawah.
Selanjutnya, yuk kita bahas teknik pengambilan gambar yang kedua, selama menonton film ini, saya banyak menemukan bentuk sinematografi dengan teknik pengambilan gambar eye level. Teknik ini memungkinkan sinematografer untuk menyampaikan visualisasi cerita dengan menampilkan gambaran sejajar dengan mata manusia, jenis angle ini berguna untuk memberikan kesan pada penonton bahwa mereka ada di tempat yang sama dengan karakter dalam film. Misalnya, saat adegan Rahmat pulang ke rumah untuk menjenguk ibundanya, kamu akan diperlihatkan sudut gambar seperti apa yang Rahmat lihat dengan matanya, itu berarti, eye level berhasil memberikan kesan seolah-olah kita ada di tempat yang sama dengan karakter dalam film tersebut.
Selain membahas dua angle yang saya sukai di film ini, supaya lebih objektif, saya akan memberi ulasan bagian sinematografi yang mungkin saja dikeluhkan oleh beberapa penonton. Sinematografer dalam film ini menggabungkan film dokumenter aksi 212 dalam film ini dengan efek green screen, kualitas gambar yang berbeda ini bagi sebagian orang yang jeli mungkin bisa merasakan perbedaan kualitas grafisnya. Meski begitu, saya pikir, penggunaan efek green screen ini tidak begitu berefek apa-apa dalam film sehingga banyak penonton yang tak mempermasalahkannya.
Selanjutnya, saya ingin menceritakan pengalaman saya pribadi selama menonton film ini. Seperti yang saya jelaskan pada paragraf pembuka dalam artikel ulasan ini, saya tidak mendapatkan tiket film ini karena sudah terjual habis hampir di seluruh bioskop yang ada di Jakarta, oleh karena itu, saya harus menonton film 212: The Power of Love di CGV Depok.
Begitu sampai di CGV Depok, saya segera bergegas ke loket pembelian tiket, well, sepertinya keberuntungan memihak pada saya, ada satu tiket tersisa dengan posisi kursi terdepan, tak apa, yang penting bisa nonton film ini.
Saat memasuki ruangan pemutaran film, penontonnya beragam dari segala umur mulai dari anak kecil, remaja, dewasa, dan orangtua pun ada, lewat impresi awal ini, saya bisa menilai, film 212: The Power of Love ini cocok untuk segala usia.
Langsung saja ke pembahasan filmnya, selama menonton film ini, pesan utama yang ingin disampaikan oleh Jastis Arimba berhasil tersampaikan pada penonton, Lewat Rahmat dan Ayahnya kita akan mengenal makna cinta dalam keluarga, lewat obrolan ringan hingga perdebatan serius yang dilakukan oleh tokoh dalam film ini sukses menyampaikan makna persahabatan di film ini, dan kepedulian umat islam untuk bersatu bergerak atas dasar iman untuk membela keyakinannya dalam aksi damai serta penuh toleransi banyak digambarkan secara langsung pada penonton, seperti adegan saling mendukung memberi perbekalan dan penginapan untuk peserta aksi, saling menghargai antar umat beragama lewat adegan salah seorang umat kristiani hendak menikah di katedral dimana para peserta aksi memberi akses jalan dan ucapan selamat pernikahan kepada pihak pengantin, serta pembuktian damainya aksi dan toleransi lewat adegan memberikan makanan gratis dan ucapan terimakasih sudah mau meliput aksi damai umat muslim kepada jurnalis kristen yang bekerja di tempat yang sama dengan Rahmat di majalah Republik.
Selama film ini, penonton akan merasakan sensasi emosi yang naik turun, mulai dari merasa tak sabaran karena alur yang kaku diawal, kesal dengan sikap sombong karakter utamanya, tertawa riuh ketika melihat tingkah lucu adin, dan keharuan yang berhasil membuat para penonton meneteskan air mata di bagian momen penting dalam film, dan juga, penonton akan mendapatkan edukasi mengenai agama islam yang penuh cinta, saling bersaudara, toleransi, dan damai. Semua keseruan sensasi haru dan menyenangkan dalam film ini bisa kamu rasakan dengan cara menonton filmnya langsung di bioskop terdekat rumahmu.
Selayaknya dan seharusnya artikel bergenre ulasan, akan ada sesi komparatif berupa kelebihan dan kekurangan dari film yang diulas, begitupun artikel ini, kamu akan menemuinya lewat ulasan dibawah ini:
1. Poin lebihnya, film ini diangkat dari kisah nyata aksi damai 212 Desember 2016, poin lainnya yang menjadi kelebihan film ini layak ditonton adalah film ini mewakili kaum muslim untuk menyuarakan kembali bahwa islam itu agama yang damai sekaligus menumbuhkan rasa kepedulian sesama muslim yang mungkin belum berkesempatan untuk bergabung dalam aksi damai, sehingga, diharapkan, bagi mereka yang belum ikut aksi ini bisa tahu bagaimana perjuangan teman-teman se-iman menghimpun massa aksi yang dengan tulus meluangkan waktunya untuk berkumpul bersama membentuk barisan aksi demi membela agamanya di Monas, Jakarta.
2. Poin lebih lainnya kenapa film ini layak ditonton adalah film ini sarat makna edukasi untuk penontonnya, ada banyak pesan baik agama islam yang bisa kita terapkan dalam keseharian untuk saling membantu dan menghargai sesama meski berbeda latar agama serta saling mengasihi antar anggota keluarga.
3. Bila orang lain tidak setuju kalau film 212 tidak seharusnya memusatkan alur ceritanya dalam lingkup keluarga karena rentan terjebak kisah drama dan khawatir pesan aksi damai tak tersampaikan, saya berpendapat lain, justru, menurut saya, film hasil produksi warna picture ini berhasil mengisahkan cerita yang luput dari pemberitaan media, yaitu bagaimana tiap individu mengambil keputusan untuk mengikuti dan mengajak anggota keluarganya untuk turut serta dalam aksi damai 212, saya yakin, tidak semua keluarga mudah sepakat untuk ikut aksi, ada yang harus meyakinkan anggota keluarganya dahulu, ada yang harus berdebat dahulu supaya mendapat izin ikut aksi 212, dan konflik-konflik lainnya yang luput dari pemberitaan namun diangkat dalam film melalui karakter utama dan ayahnya yang saling bersikeras untuk mempertahankan keinginannya untuk ikut dan melarang ikut aksi, adegan ini hanya bisa kamu temukan di film ini, film apalagi kalau bukan 212: The Power of Love.
4. Film ini juga ramah untuk segala usia, semua orang bisa menontonnya, baik itu anak kecil, remaja, dewasa, hingga orangtua pun bisa menonton dan menikmati film ini. Selama pemutaran film ini, saya melihat banyak sekali penonton yang mengajak keluarganya, selain itu juga, film ini juga bisa ditonton oleh non-muslim.
5. Film 212: The Power of Love ini punya tagline khusus untuk mengajak khalayak menonton filmnya lho, judul tagline seperti ini: #PUTIHKANBIOSKOP, lewat tagline ini, penonton film kompak mengenakan pakaian serba putih, sungguh, ini gerakan yang jarang terjadi dan baru pertama kali saya temui lewat film ini.
1. Alangkah lebih baik lagi jikalau aksi damai 212 di pertengahan menuju akhir cerita dieksplor lebih banyak lagi, sehingga fans film ini yang kebetulan tidak ikut aksi kemarin bisa mendapatkan gambaran yang lebih mendetail lagi tentang menakjubkannya aksi damai ini. Ditambah lagi, representasi massa aksinya sedikit, alangkah lebih baiknya bisa diperbanyak lagi guna menimbulkan efek yang lebih nyata sebagaimana ramainya peserta aksi 212 2016 lalu, karena bisa saja ada pihak yang merasa: "Kok peserta aksinya sedikit, kurang berasa nih atmosfer aksi 212-nya."
2. Catatan lainnya, di bagian senimatografi, beberapa penonton mengeluhkan kualitas grafis saat penggabungan film dokumenter 212 dalam bagian film ini dengan efek green screen. Bagi beberapa orang, yang sangat mencintai detail grafis yang memukau akan merasa tidak puas.
Untuk menutup artikel ulasan ini, saya akan menutupnya dengan memberikan penilaian skor film beserta kesimpulannya. Rating yang saya berikan adalah 7 / 10. Kesimpulan untuk film ini, film 212: The Power of Love adalah film bertema religi yang sarat akan makna cinta, persahabatan, toleransi, dan ajaran baik islam yang semuanya bisa kamu dapatkan dengan mengikuti alur cerita yang mempengaruhi pemeran utama dalam film ini. Film ini layak untuk ditonton oleh semua kalangan, buat kamu yang ingin mengenang kembali keterlibatanmu dalam aksi 212, kamu bisa bernostalgia lewat film ini. Untuk kamu yang belum berkesempatan hadir di aksi 212 sekalipun, kamu bisa menonton film ini supaya kamu tahu bahwa pada tanggal 2 Desember 2016, teman-teman se-imanmu berjuang dengan hati yang tulus berkumpul bersama di Monas, Jakarta. Semoga ulasan ini bisa bermanfaat untuk pembaca dan sekaligus bisa dijadikan referensi untuk kamu yang ingin tahu seperti apa film ini sebelum menontonnya langsung.
2 komentar
Apa hani mau nyoba ngerasain duduk di kursi paling depan? Hehe >_<
Iya, sama-sama han.