No Bookmarks
Bookmark
Rating
Review at:

Bolehkah Guru dan Dosen Jadi Juri Lomba Debat?

Juri NSDC 2018 DKI Jakarta
Lisensi KontenDaily Blogger Pro
Lisensi GambarDokumentasi Pribadi
Tujuan Konten:Membantu pembaca daily blogger pro agar bisa tahu ketentuan stakeholder juri lomba debat akademik apakah bisa diambil dari profesi guru dan dosen

Pertanyaan mengenai boleh atau tidaknya guru dan dosen menjadi juri lomba debat akademik sering muncul di kalangan pelajar, mahasiswa, hingga komunitas debat. Banyak yang beranggapan peran juri sebaiknya diisi oleh adjudicator profesional atau alumni debater.

Namun kenyataannya di lapangan, jumlah juri profesional dan alumni debater tidak semuanya tersedia merata di semua provinsi karena bekerja diluar bidang pelatihan / penjurian lomba debat akademik, oleh karena itu Pusat Prestasi Nasional (Puspresnas) telah membuka ruang formal bagi guru dan dosen untuk menjadi juri melalui mekanisme sertifikasi agar sumber daya juri kompeten merata di seluruh provinsi di Indonesia.

Langkah ini bukan tanpa alasan. Puspresnas, sebagai pihak yang terlibat langsung dalam pembinaan peserta debat, melihat guru dan dosen dinilai memiliki pemahaman yang baik terhadap dinamika akademik, kemampuan analisis argumen, serta etika penilaian yang objektif—tentu dengan syarat telah mengikuti pelatihan dan sertifikasi juri resmi dari Puspresnas.

Sertifikasi Juri dan Standar Kompetensi dari Puspresnas

Sebelum membahas siapa saja guru dan dosen yang layak menjadi juri lomba debat akademik, saya perlu memberitahukan Puspresnas telah menetapkan mekanisme sertifikasi resmi bagi para guru dan dosen pendamping dalam lomba debat di Indonesia.

Sertifikasi Juri N1 di Lomba NSDC 2024 Tingkat Nasional di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta

Untuk tingkat SMA, sertifikasi ini dilakukan melalui dua ajang lomba debat nasional: National Schools Debating Championship (NSDC) dan Lomba Debat Bahasa Indonesia (LDBI). Sementara untuk tingkat universitas, mekanisme yang sama berlaku melalui National University Debating Championship (NUDC) dan Kompetisi Debat Mahasiswa Indonesia (KDMI).

Melalui sertifikasi ini, para guru dan dosen akan mendapatkan pelatihan intensif tentang format debat parlementer—baik Asian, World School, maupun British—serta prinsip adjudication yang adil dan berbasis argumen yang baik, bukan penampilan atau status peserta. Sertifikasi ini tersedia mulai dari tingkat wilayah hingga nasional, sehingga memastikan adanya standar kompetensi yang sama di seluruh Indonesia.

Guru dan Dosen yang Layak Menjadi Juri Debat Akademik

Dokumentasi Pribadi: Juri Lomba Debat NSDC 2025 Tingkat Provinsi DKI Jakarta di SMA Negeri Unggulan M.H. Thamrin

Guru dan dosen layak menjadi juri lomba debat apabila telah mengikuti sertifikasi juri N1 dari Puspresnas atau setidaknya pernah menjadi bagian dari kegiatan resmi NSDC, NUDC, KDMI, atau LDBI. Sertifikasi ini menjadi bukti bahwa mereka memahami standar debat akademik nasional dan tahu bagaimana menilai berdasarkan logika argumen, relevansi data, gaya presentasi yang persuasif, dan strategi tim dalam menangani pertentangan argumen.

Selain itu, juri yang ideal juga harus memiliki kemampuan reflektif dan tidak membawa bias personal terhadap peserta. Ia perlu memahami bahwa debat akademik bukan soal siapa yang paling pandai berbicara dengan gaya formal, melainkan siapa yang paling kuat dalam menyusun argumen logis dan membantah dengan bukti yang valid dan objektif.

Guru dan dosen yang sudah terbiasa membimbing tim debat umumnya juga memiliki pengalaman cukup dalam memberikan adjudication (umpan balik) yang membangun. Pemberian feedback dari juri ini penting, karena nilai sebuah lomba debat tidak berhenti di kemenangan saja, tapi pada proses belajar berpikir kritis dan akademik yang dialami peserta dalam sebuah pertandingan debat.

Guru dan Dosen yang Belum Layak Menjadi Juri Debat

Sebaliknya, masih banyak kasus di lapangan ketika panitia lomba mengundang juri yang belum pernah mengikuti sertifikasi juri N1 atau bahkan tidak memiliki pengalaman sama sekali dalam debat akademik parlementer. Akibatnya, proses penilaian menjadi tidak sesuai standar.

Beberapa juri yang tidak tersertifikasi cenderung menilai berdasarkan tata krama, gaya bicara, atau kefasihan berbahasa, bukan kekuatan argumen dan logika. Dalam kasus tertentu, muncul pula dugaan keberpihakan terhadap sekolah atau kampus tertentu, terutama jika panitia berasal dari institusi yang sama. Hal-hal seperti ini menimbulkan rasa kecewa dari peserta, guru pembimbing, hingga orang tua, karena nilai debat akademik sejatinya terletak pada keadilan dan objektivitas penilaian.

Juri yang tidak layak bukan berarti tidak kompeten secara intelektual, melainkan belum memahami konteks debat akademik sebagai ruang adu gagasan, bukan adu sopan santun atau retorika. Oleh karena itu, sebelum memutuskan menjadi juri, guru dan dosen perlu terlebih dahulu membekali diri dengan pelatihan dan pengalaman di bawah naungan Puspresnas atau komunitas debat terstandar.

Penutup

Jadi, bolehkah guru dan dosen menjadi juri debat akademik? Jawabannya: boleh, bahkan sangat dianjurkan—asal telah melalui jalur sertifikasi resmi dan memahami standar debat akademik yang berlaku.

Puspresnas telah memberi wadah agar guru dan dosen dapat berperan bukan hanya sebagai pembimbing, tapi juga sebagai penjaga kualitas kompetisi debat di Indonesia. Ke depannya, penting bagi semua pihak untuk mengedepankan profesionalisme penjurian demi menjaga integritas dan kredibilitas dunia debat akademik nasional.

Semoga konten ini bermanfaat buatmu ya.